menggapai 3339 mdpl -3000 pertamaku-


Kembali mengingat ingat perjalanan yang terjadi, sebuah pendakian 3000 pertamaku, tahun 2007. Berawal dari ajakan seorang senior, aku segera mengiyakan karena jelang skripsi mau usai, belum pernah sekalipun aku mendaki di jawa timur. Persiapan pun dilakukan, dengan berbagai literatur, pinjam sana sini, dan mencari rombongan, maka jumlah rombongan yang naik empat orang, tiga cowok (aku, eko, mas hendri) dan satu cewe (mbak patria), beda angkatan semua.

Menilik cara packing saat itu, benar benar tidak sesuai kaidah. Asal masuk, walau menerapkan prinsip ringan di bawah, berat di atas. Pengaturan belt pada tas juga tidak dilakukan, dan hasilnya, tas berat yang sangat tidak nyaman. Tapi beruntung dapat pinjaman ransel eiger. Titik temu di pangkalan angkot depan poltek. Merasa sangat gagah berjalan menuju titik temu, yang kebetulan dekat dengan kost, dengan membawa ransel gede. Jalan sebentar udah keringetan, sehingga waswas apakah sanggup mendaki ke arjuno.Perjalanan mengendarai angkot ABG menuju arjosari dan dilanjutkan dengan Bus Malang – Surabaya turun terminal Pandaan dan disambung dengan angkutan desa, kami tiba di pos perijinan pendakian tretes.

Menyempatkan untuk sarapan di warung depan perijinan, kami lalu berangkat. Tiga puluh menit pertama adalah masa penyesuaian, dan itu benar benar berat. Sampai di pet bocor menyempatkan untuk minum dan mengisi ulang air. Kebodohan pertama terjadi di sini, botol yang berisi minyak tanah kukira air minum. Alhasil, butuh waktu lama untuk mencuci mulut dan menghilangkan rasa minyak tanah di mulut. Setelah isi ulang perjalanan dilanjutkan. Perjalanan yang berat, selain karena sudah lama tidak berkegiatan alam, juga terik matahari sepanjang perjalanan. Benar benar panas dan menyiksa, ditambah pantulan sinar matahari dari jalur dan debu yang beterbangan.

Panas dan berbatu

Sesampai di kopkopan, sudah terdapat beberapa rombongan yang sudah mendirikan tenda. Parahnya, ada beberapa yang sengaja naik ke pohon, menebangi dahan yang cukup besar untuk membuat kayu bakar. Wah lama lama hutan di dekat Kopkopan bakalan habis. Di Kopkopan seingatku kami makan siang dengan membuat mi instan, setelah itu baru melanjutkan perjalanan.

Jelang pondokan, hari mulai gelap, dan kami segera mengeluarkan senter. Kebetulan senterku berada di ransel dan pada saat itu membawa tas kecil untuk tempat kamera, sehingga harus melepas tas tersebut baru bisa menurunkan ransel. Sayangnya, saat memakai ransel, tas kecil itu lupa kupakai kembali. Kembali berjalan sekitar 30 – 45 menit, baru tersadar, tas kamera tertinggal. Panik mulai melanda karena kamera itu kamera pinjaman. Setelah memberitahu teman, tanpa berpikir panjang segera balik kanan dan mulai mencari kamera, dengan ransel di punggung dan sendirian. Entah berapa menit sendirian di hutan mencari kamera tiba tiba tersadar, kenapa tidak mengajak kawan, dan kenapa bawa ransel, berat beratin saja. Akhirnya kembali balik kanan menuju rombongan untuk menitipkan ransel dan mengajak satu orang untuk menemani mencari tas kamera tersebut. Durasi waktu pencarian sudah lupa berapa lama, tapi pada akhirnya berhasil menemukan tas tersebut. Puji Tuhan, akhirnya bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang. Sampai di pondokan, jam berapa tepatnya sudah tak ingat, kami segera mendirikan tenda. Lalu segera istirahat (cukup sulit mengingat kegiatan apa saja yang dilakukan malam itu).

Esok pagi kami bersiap siap menuju puncak. Dengan air yang melimpah di pondokan, kami menyempatkan diri untuk mencuci muka, sikat gigi, masak, tanpa takut kekurangan air. Acara sarapan pun sempat diwarnai tragedi jatuhnya mie yang baru selesai dimasak. Setelah proses berkemas selesai kami menuju lembah kijang. Dari lembah kijang kita bisa melihat puncak arjuno dengan tebingnya yang sangat curam. Hal ini membuat semangat di tengah matahari yang sangat terik yang selalu menyertai perjalanan kami di terang hari.

tepat sebelum tragedi jatuhnya mie

Sesi foto kembali dilakukan di lembah kijang, dan kemudian melanjutkan perjalanan menaiki tanjakan yang aduhai terjalnya. Benar benar menguras tenaga. Di tengah perjalanan menyusuri tanjakan, mas hendri tersadar kalau tas selempangnya tertinggal di tempat sesi foto foto lembah kijang. Ouh crap,,,dejavu banget.

foto bareng di lembah kijang. Pada foto ini terlihat mas hendri sudah tidak mengenakan tas selepangnya

Proses evakuasi dilakukan mas hendri sendirian, dan cukup lama. Lumayan buat kami bertiga jadi bisa istirahat. Sekembalinya mas hendri kami melanjutkan perjalanan. Seingatku kami makan roti sebagai makan siang di sebuah tempat yang terdapat batu besarnya dan kembali melanjutkan perjalanan dengan cukup lambat. Sampai di pasar dieng sudah jelang sore dan mencapai puncak sekitar jam tiga sore. Cuaca cerah sehingga semeru dapat terlihat jelas. Rasa bangga, senang, capek campur aduk di 3000 pertamaku. Di puncak kami tidak berlama lama karena harus segera turun melalui jalur lawang. Dan untuk turun pun kami harus bertanya arahnya kepada pendaki lain yang kebetulan berkemah di puncak.

3339 mdpl

Perjalanan turun terasa sangat cepat, karena mengejar waktu. Ketika hari mulai senja, kami semua seolah sepakat untuk hening dan mempercepat langkah. Setelah Melewati hutan lebat yang disinyalir sebagai lali jiwo (banyak versi mengenai lokasi hutan lali jiwo ini, mulai dari yang terletak di jalur arjuno via tretes, purwodadi dan malang), kami mulai mengurangi kecepatan. Di tengah hutan, kami menemukan sebidang tanah lapang yang biasa digunakan sebagai tempat berkemah dan memutuskan untuk bermalam di sana. Makan malam hari ke dua ini sudah mulai kehilangan napsu, karena menu yang ada dari awal pendakian hanya mi instan, sebuah manajemen perjalanan yang buruk. Malam hari di tempat ini tidak sehening di pondokan, karena angin bertiup cukup kencang sehingga pohon pohon sekitar menimbulkan suara yang cukup menciutkan nyali.

Esok hari kami melajutkan perjalanan turun, dalam perjalanan turun ini, karena tidak adanya tanda pengenal pos, kami salah menemukenali pos (di antara kami belum ada pyang pernah melalui jalur ini). Kesalahan yang cukup fatal karena menyebabkan kesalahan dalam mengestimasi waktu dan jarak yang tersisa. Kesalahan ini menjadi bertambah buruk ketika bertemu dengan seorang pendaki (nekat) yang belum pernah naik dan kehabisan air. Karena dalam estimasi kami, basecamp sudah cukup dekat, kami menghibahkan sebotol air (lupa, apakah 1,5 liter atau 600 ml) ke pendaki tersebut dan melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian kami bertemu sebidang lahan yang cirri cirinya sesuai dengan Pos III, dan mulailah gelisah, karena perjalanan turun masih 4-5 jam dan air kami sudah sangat tipis. Mau tak mau harus segera mencapai basecamp karena sepanjang jalur tidak ada air.

Perjalanan turun yang sangat berat, dimana jalur mulai terbuka dengan sinar matahari yang sangat menyengat benar benar membuat frustasi. Langkah terseok seok dan mulai putus asa. Di tengah keputusasaan tersebut, aku dan mas hendri memiliki ide konyol yang makin memperkuat gejala dehidrasi dan putusasaakut. Melihat ada pohon pisang, kami berpikir, di dahan atau pangkal akar pohon pisang pasti tersimpan air yang bisa digunakan. Mulailah kami menebang satu batang pohong pisang. Tentu saja hasilnya nihil, dan kami tetap pada pendirian kami. Pohon pisang yang terletak disebelahnya kami potong juga dan tentu saja hasilnya tetep sama. Lalu aku dan mas hendri berdiskusi, dan kesimpulnya, tidak ada dasar teori ada kantong air di pisang. Semoga pemilik pohon pisang tersebut tidak mengutuk kami.

Berjam jam melalui jalan yang panjang dan panas, sore hari kami memasuki perkebunan teh. Semangat kembali muncul dan langkah semakin cepat, walau menahan rasa sakit di kaki karena kelelahan. Akhirnya kami tiba di sebuah bangunan yang bentuknya semacam balai/bangunan tanpa dinding. Segera kami beristirahat, meletakkan ransel dan segala beban yang ada. Namun sayangnya, tak ada air. Akhirnya aku mencari para pemetik the, dan meminta air kepada mereka. Hasilnya, 1,5 liter air berhasil air berhasil terkumpul. Air yang terasa sangat segar akhirnya membasahi tenggorokan kami. Dari tempat ini menuju pintu masuk pendakian masih berjarak sekitar dua kilometer. Untungnya, kami tepat berada saat para pemetik teh akan dijemput oleh truk pengangkut sehingga kami bisa menumpang truk tersebut. Dan tanpa menikmati wisata di kebun teh kami segera melapor ke pos pendakian lawang dan langsung menuju jalan Surabaya – Malang untuk mencari bus menuju arjosari.

Benar benar pengalaman 3000 pertama yang nano nano

Leave a comment